Akademisi dan Aktivis Sulut: Referendum Bertentangan dengan Konstitusi dan Hukum Internasional

Spread the love
Diskusi Jaringan Aktivis Mahasiswa Sulut, Ikatan Alumni Unsrat dan Manado Cyber Community terkait fenomena pulangnya mahasiswa Papua yang sementara studi di Sulut ke kampung halamannya, di RM Rica Tampurung , Mahakeret Barat, Kota Manado, Sabtu (7/9/2019).  Hadir sebagai pembicara Dekan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Dr. Flora Kalalo, Koordinator Jaringan Aktivis Mahasiswa Sulawesi Utara Risat Sanger dan Dekan Fakultas Fisip Unsrat, Dr. Jhoni Lengkong/ Istimewa

tvpapua.com, Jayapura, 11/09

MANADO – Akademisi dan aktivis Sulawesi Utara berharap mahasiswa Papua dan Papua Barat tidak terprovokasi dengan berita hoax di media sosial, diamana isinya meminta mahasiswa kembali ke Papua.

Dekan Fakultas Hukum Unsrat, Dr. Flora Kalalo menduga ada pihak yang sengaja menunggangi aksi damai disejumlah wilayah Papua dan Papua Barat. Targetnya adalah agar isu Papua diangkat di agenda rapat Komisi HAM PBB di Genewa yang digelar 9 September 2019, serta Sidang Umum PBB Pada 23-24 September 2019.

”Mereka mendesain dan memunculkan isu-isu HAM, isu kerusuhan, isu Rasisme yang meski dalam acara tersebut tidak ada agenda tentang itu,” ujar Flora dalam diskusi yang digelar Jaringan Aktivis Mahasiswa Sulut, Ikatan Alumni Unsrat dan Manado Cyber Community terkait fenomena pulangnya mahasiswa Papua yang sementara studi di Sulut ke kampung halamannya, di RM Rica Tampurung , Mahakeret Barat, Kota Manado, Sabtu (07/09) lalu.

Flora menambahkan, hukum dan konstitusi Indonesia telah menutup pintu referendum melalui Tap MPR 4 tahun 1985, tentang pencabutan hal Referendum, Tap MPR 8 tahun 1998 telah mencabut Tap MPR 4 tahun 1993 tentang Referendum.

Kemudian ditindaklanjuti UU No. 6 tahun 1999 tentang pencabutan UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.

Dengan pencabutan ini konstitusi maupun Perundang-Undang di dalam sistem hukum Indonesia tidak mengakui lembaga atau model referendum.

Tak hanya itu, referendum akan bertentangan dengan prinsip utama hukum Internasional dan piagam PBB yaitu “teritorial integrity” dan “uti possidetis juris”.

Resolusi Majelias Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah resolusi tersebut.

”Tuntutan Referendum akan bertentangan dengan hukum yg berlaku di Indonesia. Maka dihimbau kepada masyarakat agar tidak terprovokasi dan terjebak oleh elite politik dengan ajakan Referendum dan memisahkan diri dari NKRI, pemaksaan atau tindakan menghasut untuk melakukan Referendum melanggar pasal 106 KUHP yaitu Makar,” kata Flora.

Sementara itu, aktivis Risat Sanger mendata sebanyak 721 mahasiswa Papua yang melaksanakan studi di Sulut sudah kembali ke Papua. Risat menghimbau agar mahasiswa Papua kembali melaksanakan kuliahnya.

”Kepulangan mahasiswa Papua karena mereka akan melaksanakan demo kembali di Papua. Kami mencurigai adanya otak penggeraknya yang mengajak mahasiswa Papua kembali ke Papua,” ujar Risat.

Risat menambahkan, berdasarkan pertemuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan Forkopimda Sulut, pada tanggal 29 Agustus 2019 di hotel FourPoint Manado, telah melahirkan kesepakatan yaitu menjamin keamanan seluruh mahasiswa Papua yang berstudi di Manado.

”Tidak ada intimidasi kepada mahasiswa Papua,” katanya.

Dekan Fakultas Fisip Universitas Sam Ratulangi, Dr. Jhoni Lengkong mengatakan, mahasiswa Papua harus dapat memilah permasalahan dan konsentrasi pada pendidikan agar dapat menyelesaikan studinya di Sulut.

”Keterlambatan studi dapat mempengaruhi ekskalasi pendidikan para mahasiswa Papua ke depan,” uajr Jhoni.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto menyatakan eksodus 835 mahasiswa asal Papua dan Papua Barat akibat dari provokasi dan informasi bohong.

Menurut Wiranto, ada pihak yang menyebar isu bahwa mahasiswa Papua dan Papua Barat yang mengenyam pendidikan di luar daerahnya akan menerima tekanan dan ancaman. (Dilansir harianterbit.com )

%d blogger menyukai ini: