Gubernur Papua Terima Hasil Kajian UU Otsus Oleh Tim Akademisi Uncen

Gubernur Papua Lukas Enembe menerima tim akademisi Universitas Cendrawasih yang menyerahkan perkembangan hasil kajian Undang-Undang Otonomi Khusus/ Istimewa

tvpapua.com, Jayapura, 17/09

JAYAPURA – Gubernur Papua Lukas Enembe menerima tim akademisi Universitas Cendrawasih yang menyerahkan perkembangan hasil kajian Undang-Undang Otonomi Khusus  (UU Otsus), di ruang kerjanya, Rabu (16/09).

Ada tiga komponen dalam hasil kajian tersebut yang disusun dalam draft Undang-undang Otsus yakni Otonomi Khusus, pemekaran dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“Hari ini saya terima tim akademisi dari Uncen dipimpin oleh Pembantu Rektor III Uncen, mereka menyerahkan hasil kajian Undang-Undang Otsus yang ditugaskan beberapa bulan lalu,” katanya.

Gubernur menjelaskan, setelah menerima hasil ini, akan dilakukan pembahasan guna mempelajari hasil kajian, kemudian dirumuskan sebelum dilanjutkan ke Pusat.

“Kita akan membahas dan mempelajari hasil kajian yang telah diserahkan, kemudian dirumuskan untuk dilanjutkan ke Jakarta,” jelasnya.

Lebih lanjut Ia menerangkan, untuk masalah di Papua, harus ada solusi terbaik. Bukan soal merdeka. Jika sebelumnya pemerintah pusat menerima Otsus Plus yang telah diajukan pemerintah Papua kemungkinan tidak akan ada masalah.

“Saya dorong Otsus Plus namun ditolak pemerintah pusat, jika saja diterima tentu tidak akan ada masalah. Mungkin sebagian besar orang Papua minta merdeka, tetapi harus ada win win solution dari pemerintah pusat yang terbaik untuk Papua, jangan kita minta merdeka terus kita jadi korban,”terangnya.

Sementara itu, Prof DR. Melkias Hetaria, Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih menyampaikan, ada tiga komponen yang disusun dalam draf Undang-undang Otonomi Khusus, yakni Otonomi khusus, pemekaran dan KKR.

“Jadi penjelasan mengenai pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sudah diamanatkan dalam Pasal 46 UU Otsus, dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua, maka akan dibentuk tim KKR yang akan dibentuk lewat keputusan presiden atau peraturan presiden melalui usul gubernur Papua,” ujarnya.

Hal inilah yang sudah dikaji tim akademisi dan sudah disampaikan. Isi dari pada draf itu sendiri berkaitan dengan rekonsiliasi dan penyelesaian pelanggaran HAM Papua lewat komisi kebenaran, yang mana tugasnya untuk mengungkap kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi.

“Sebab tidak mungkin ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Ini yang kami bawa ke gubernur, dan semua tergantung pusat,” tuturnya.

Ditambahkan Basirohmana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Revisi Undang-undang Otsus yang dilakukan oleh pusat hanya terbatas, yang mana berkaitan dengan anggaran (Pasal 34 ayat 3 huruf e), tapi kemungkinan juga dibuka dengan revisi parsial. Artinya, boleh dilakukan perubahan terhadap UU Otsus tetapi tidak boleh lebih dari 50 persen.

“Tapi ada keinginan lain seperti yang diungkapkan gubernur, Papua bisa melakukan revisi total dengan tetap melihat asas, tujuan dan prinsip-prinsip lain yang ada dalam UU, juga ada tiga bentuk revisi, yakni terbatas, parsial dan menyeluruh,” ungkapnya.

Untuk daerah otonomi baru, Akademisi Uncen sudah melakukan kajian yang menjadi naskah daerah (akademik) dengan melakukan pendekatan wilayah adat.

Artinya, ada baiknya kalau pemekaran dilakukan mengikuti zona wilayah adat, sebab Papua ada memiliki lima wilayah adat (Saireri, Animha, Meepago, Lapago, Tabi).

Sebab, dalam Pasal 76 UU Otsus  mengatakan, pemekaran provinsi harus menperhatikan empat hal, yakni kesatuan sosial budaya masyarakat, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan sumber daya ekonomi dan bagaimana pengembangan wilayah ke depan.

“Itu sesuai amanat UU Otsus. Kami telah mengkaji dan mendorong hal ini supaya  dibahas lebih lanjut,” katanya. (QB)